Jurnalis Juga Buruh, Hari Buruh 2009
Sejak AJI berdiri hingga sekarang, sebagian besar aktivis utamanya
justru tidak berasal dari media yang dibreidel, namun justru dari
media-media lainnya. Kecuali satu-dua orang, bisa dibilang tak ada satu
pun wartawan eks-Editor yang pernah terlibat dalam aktivitas perlawanan
AJI pada masa-masa awal berdirinya. Kalau melihat dari persentase,
mungkin yang agak banyak terlibat dalam AJI adalah jurnalis eks Tabloid
DeTik, disusul kemudian dengan para jurnalis Majalah Tempo.
Meskipun jumlah wartawan eks-Tempo lebih banyak, para jurnalis Tempo terbelah dua. Separuh di antaranya berseberangan dengan
Goenawan Mohamad, dan memilih bergabung mendirikan
Gatra, yang dimodali oleh
Bob Hassan.
Hal ini menimbulkan friksi di antara sesama eks-Tempo sendiri, sehingga
sempat memunculkan wacana "boikot Gatra". AJI waktu itu memilih tidak
mengeluarkan sikap resmi soal Gatra ini, karena dipandang lebih
merupakan masalah internal Tempo.
Dari sekian jurnalis eks-Tempo yang tidak bergabung ke Gatra, juga
tidak semuanya aktif di AJI. Sebagian mereka ikut mendirikan Tabloid
Kontan, dan sejak itu tak banyak aktif di AJI, meski pada awalnya
sebagian mereka ikut menandatangani Deklarasi Sirnagalih.
Di sisi lain, cukup banyak jurnalis-aktivis, yang menggerakkan roda
organisasi AJI pada masa awal berdirinya, justru berasal dari grup media
yang bukan korban pembreidelan. Mereka antara lain: Stanley Adi
Prasetyo (Jakarta-Jakarta), Meirizal Zulkarnain (Bisnis Indonesia),
Hasudungan Sirait (Bisnis Indonesia), Rin Hindryati (Bisnis Indonesia),
Satrio Arismunandar (Kompas), Dhia Prekasha Yoedha (Kompas), Santoso
(Forum Keadilan), Ayu Utami (Forum Keadilan), Andreas Harsono (The
Jakarta Post), Ati Nurbaiti (The Jakarta Post), Roy Pakpahan (Suara
Pembaruan), dan lain-lain.
Mengapa bernama AJI? Meski sejak awal sudah merancang ke arah
pembentukan organisasi jurnalis alternatif, dalam diskusi 6 Agustus
malam di Sirnagalih itu, tampak bahwa gagasan para peserta sangat
beragam. Dalam diskusi pleno itu, mengemuka bahwa pembentukan forum
komunikasi, paguyuban, atau bentuk apapun di luar organisasi profesi,
tidak akan efektif dan tak akan dianggap penting oleh PWI atau
pemerintah. Karena PWI yang dikooptasi penguasa adalah organisasi
profesi jurnalis, maka imbangan yang pas terhadap PWI juga harus
berbentuk organisasi profesi jurnalis, namun dengan sifat yang
independen terhadap pemerintah.
Forum akhirnya sepakat membentuk organisasi profesi jurnalis.
Persoalannya kemudian, apa nama organisasi baru ini? Menurut Salomo
Simanungkalit (wartawan Kompas, yang juga penandatangan Deklarasi
Sirnagalih), nama AJI itu sudah “ditimang-timang” dan disebut oleh Dhia
Prekasha Yoedha, dalam perjalanan naik mobil dari Jakarta menuju
Sirnagalih, sebelum pertemuan para jurnalis. Nama itu terkesan bagus,
singkat, mudah disebut, mudah diingat, dan punya makna positif. Aji
dalam mitologi Jawa berarti suatu ilmu atau kesaktian tertentu.
Sedangkan sebutan “Aliansi” seingat saya berasal dari usulan Stanley.
Dasar pemikirannya, adalah untuk menghormati dan mengakui keberadaan
komunitas-komunitas jurnalis, yang sudah lebih dulu ada di berbagai
kota. Pada kenyataannya, memang merekalah yang mengirim delegasi ke
pertemuan Sirnagalih ini.
Berbagai usulan tersebut dirangkum. Forum pun setuju menggunakan
istilah “Aliansi” karena pertimbangan yang disampaikan Stanley di atas.
Istilah “Jurnalis” pun disepakati digunakan, karena itulah istilah yang
dianggap lebih sesuai dengan kata asalnya dalam bahasa Inggris
(journalist), dan untuk membedakan dari PWI yang sudah menggunakan
“wartawan.” Terakhir, istilah “Independen” digunakan untuk
menggarisbawahi perbedaan AJI dengan PWI. AJI itu independen, dan juga
tidak mau mengklaim mewakili “Indonesia.” Sedangkan, PWI tidak
independen, tapi mengklaim mewakili Indonesia.
Sesudah nama AJI disepakati, peserta diskusi dibagi dalam sejumlah
komisi, seperti Komisi Deklarasi, Komisi Program, dan lain-lain. Satrio
Arismunandar dipercayai memimpin Komisi Deklarasi, dengan sekretaris
Jopie Hidajat (Tempo) yang kini bekerja di Tabloid Kontan. Sesudah
serangkaian diskusi panjang, Komisi ini berhasil merumuskan Deklarasi
Sirnagalih, yang esok paginya, tanggal 7 Agustus, dibacakan dan dibahas
lagi di Sidang Pleno. Deklarasi itu disepakati dengan suara bulat dan
hanya dengan sedikit sekali perubahan redaksional.
Jika diamati, dalam deklarasi itu tercantum “Pancasila dan UUD ‘45.”
Selain karena pertimbangan ideologis, pencantuman “Pancasila” di
Deklarasi Sirnagalih merupakan langkah taktis, untuk meniadakan peluang
bagi aparat rezim Soeharto untuk menghantam gerakan dan organisasi AJI
yang baru lahir ini. Waktu itu, iklim represi sangat keras, dan ada
kewajiban mencantumkan “Pancasila” sebagai satu-satunya asas bagi
organisasi kemasyarakatan.
AJI adalah organisasi jurnalis alternatif. Kata “alternatif” perlu
ditekankan, untuk membedakan dari sebutan “tandingan.” Istilah
“tandingan” bermakna reaktif. Jika AJI sekadar tandingan dari PWI, maka
eksistensi keberadaan AJI akan tergantung pada PWI. Jika PWI bubar, AJI
juga harus bubar, karena kelahirannya hanyalah sebagai tandingan atau
reaksi dari keberadaan PWI. Itulah sebabnya, sejak awal AJI tak pernah
menyebut diri sebagai “tandingan PWI.”
Sedangkan, sebutan “alternatif” pada semangatnya adalah menerima
pluralitas dan perbedaan, tidak memonopoli. “Alternatif” bagi AJI
artinya bisa menerima adanya organisasi-organisasi lain. Sejak
berdirinya AJI, kita tak pernah menuntut pembubaran PWI atau organisasi
jurnalis lainnya. AJI tidak ingin melakukan kesalahan yang sama dengan
PWI: memonopoli kebenaran dan legalitas dari pemerintah untuk dirinya
sendiri, dengan menafikan organisasi jurnalis lain. Dengan terus
menggunakan gedung dan aset dari pemerintah untuk kantor-kantornya
sendiri, sampai saat ini secara esensial sebetulnya tak ada yang berubah
dari PWI.
Pada 7 Agustus siang, mulailah acara penandatangan Deklarasi. Tidak
semua peserta yang hadir bersedia menandatangani, dengan pertimbangan
yang beragam. Herdi SRS, M. Fadjroel Rachman, Ging Ginanjar, memilih
tidak menandatangani. Bambang Harymurti (BHM) namanya dicantumkan di
Deklarasi, namun nyatanya ia sudah keburu pergi untuk suatu urusan,
sehingga juga tidak tanda tangan. Rekan dari Kompas, Salomo
Simanungkalit dan Bambang Wisudo sudah lebih dulu pulang karena tugas
kantor, namun mereka menyatakan komitmennya untuk tanda tangan, dan
minta namanya tetap dicantumkan di Deklarasi.
Pada kenyataannya, para jurnalis senior “ditodong” untuk ikut memberi
tanda tangan dalam Deklarasi, yang isinya dirancang sepenuhnya oleh
para jurnalis muda. Bagaimanapun juga, nama para jurnalis senior ini
dibutuhkan untuk memberi gaung yang lebih besar pada Deklarasi
Sirnagalih, yang menjadi dasar berdirinya AJI. Pada waktu itu, istilah
“jurnalis” juga diartikan secara luas dan mencakup juga para kolumnis,
sehingga Arief Budiman, Christianto Wibisono, dan Jus Soema di Pradja
yang sudah lama tidak aktif sebagai jurnalis, ikut tanda tangan.
Berdirinya AJI memberi gaung cukup besar di dunia jurnalistik
Indonesia. Tekanan terhadap para jurnalis yang terang-terangan bergabung
dalam AJI sangat besar. Pemerintah melalui Departemen Penerangan dan
PWI melihat berdirinya AJI sebagai tantangan terbuka, yang harus
ditindak keras agar tidak meluas. Berbagai tindakan “pendisiplinan”
melalui pemimpin di media masing-masing pun dilakukan.
Ada anggota AJI yang dipindahkan ke bagian Litbang (seperti dialami
Hasudungan Sirait di Bisnis Indonesia), dimutasi ke luar Jakarta,
ditekan supaya mundur dari AJI atau minta maaf, dan sebagainya. Intinya,
karier jurnalistik bagi seorang anggota AJI praktis sudah ditutup,
karena saat itu untuk menjadi seorang Pemimpin Redaksi harus memperoleh
rekomendasi PWI. Hal ini bisa menjelaskan, mengapa Bambang Harymurti
sampai saat ini tidak ikut tanda tangan di Deklarasi Sirnagalih,
meskipun namanya tercantum di sana. Mungkin ada pertimbangan praktis
atau pragmatis, karena Bambang harus menakhodai sisa-sisa awak Tempo
untuk mendirikan majalah atau media baru.
Dalam hal ini, PWI telah bertindak terlalu jauh. Pimpinan PWI dalam
forum terbuka yang dikutip media pernah mengatakan, media massa tidak
boleh mempekerjakan anggota AJI. Ini merupakan pelanggaran HAM. Upaya
mencari nafkah untuk hidup adalah hak asasi yang tak bisa ditawar-tawar.
Bahwa Pemerintah tidak mengakui AJI dan hanya mau mengakui PWI, itu
adalah urusan lain. Namun hak mencari nafkah seharusnya tak boleh
diganggu gugat.
Karena aktivitas di AJI, belasan jurnalis yang sudah sempat jadi
anggota PWI, dipecat dari keanggotaan PWI. Mereka antara lain: Fikri
Jufri, Eros Djarot, Hasudungan Sirait, Diah Purnomowati, Stanley Adi
Prasetyo, dan lain-lain. Secara praktis, pemecatan ini tak berarti
banyak, toh mereka sudah tidak merasa dibela oleh PWI.
Satrio dan Yoedha juga akhirnya ditekan untuk mundur dari Kompas.
Alasan pemimpin Kompas adalah, aktivitas mereka dianggap membahayakan
kelangsungan hidup grup penerbitan Kompas. Waktu itu, keduanya selain
aktif di AJI, juga aktif di SBSI (Serikat Buruh Sejahtera Indonesia)
yang diketuai Muchtar Pakpahan. AJI dan SBSI adalah organisasi yang
dianggap berseberangan dengan pemerintah. Seperti halnya kasus PWI dan
AJI di dunia jurnalistik, di bidang perburuhan, Pemerintah tak mengakui
SBSI dan hanya mau mengakui SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia)
sebagai satu-satunya organisasi yang mewakili aspirasi pekerja
Indonesia.
Pimpinan Kompas beranggapan, keduanya dibiarkan terus aktif di AJI
dan SBSI seperti sediakala tanpa ditindak, akan memberi kesan pada
penguasa (Departemen Penerangan yang mengeluarkan SIUPP pada Kompas)
bahwa Kompas “merestui” atau bahkan “mendukung aktivitas ilegal” yang
dilakukan dua karyawannya. Implikasinya, Kompas bisa dibreidel
sewaktu-waktu, seperti sudah pernah terjadi di waktu lampau. Oleh karena
itu, daripada membahayakan kelangsungan hidup perusahaan Kompas dengan
sekitar 3.000 karyawannya, lebih baik meminta dua wartawannya mundur.
=> Setelah Soeharto Jatuh