Minggu, 30 September 2012

Setelah Soeharto Jatuh

Sejak berdiri hingga saat ini, AJI memiliki kepedulian pada tiga isu utama. Inilah yang kemudian diwujudkan menjadi program kerja selama ini. Pertama, perjuangan untuk mempertahankan kebebasan pers. Kedua, meningkatkan profesionalisme jurnalis. Ketiga, meningkatkan kesejahteraan jurnalis. Semua ini merujuk pada persoalan nyata yang dihadapi jurnalis.
Pertama, perjuangan untuk mempertahankan kebebasan pers merupakan pekerjaan rumah utama AJI. Tidak hanya semasa Orde Baru berkuasa, saat represi terhadap media dan pemberangusan terhadap kebebasan pers sangat tinggi. Setelah Soeharto tumbang berganti era reformasi, isu kebebasan pers itu masih terus aktual. Sebab, represi yang dulunya berasal dari negara, kini justru bertambah dari masyarakat, mulai pejabat dan pengusaha yang merasa terancam oleh pers yang mulai bebas, hingga kelompok-kelompok preman.
Ancaman bagi kebebasan pers itu ditandai oleh kian maraknya kasus gugatan, baik pidana maupun perdata, terhadap pers setelah reformasi. Ini diperkuat oleh statistik kasus kekerasan terhadap jurnalis yang masih relatif tinggi, meski statistik jumlah kasus yang dimiliki AJI cukup fluktuatif. Tahun 1998, kekerasan terhadap jurnalis tercatat sebanyak 42 kasus. Setahun kemudian, 1999, menjadi 74 kasus dan 115 di tahun 2000. Pada tahun 2001 sebanyak 95 kasus, 70 kasus (2002), 59 kasus (2003), dan 27 kasus pada 2004.
Beberapa kasus menonjol dalam kasus kekerasan terhadap pers adalah pembunuhan Fuad Muhammad Syafruddin, wartawan Harian Bernas Yogyakarta, 1996. AJI memberikan perhatian serius atas perkembangan tiap tahun kasus ini. Untuk menghargai dedikasinya kepada profesi, AJI menggunakan nama Udin Award sebagai penghargaan yang diberikan setiap tahun kepada jurnalis yang menjadi korban saat menjalankan tugas jurnalistiknya.
Kasus yang tak kalah penting adalah penyanderaan dua wartawan RCTI, Ersa Siregar dan Ferry Santoro oleh Gerakan Aceh Merdeka, di Aceh Timur, 2003. AJI menggalang dukungan internasional untuk membantu pembebasan tersebut, serta membentuk tim pembebasan bersama sejumlah organisasi lainnya. Ferry Santoro akhirnya selamat, namun Ersa tewas saat terjadi kontak senjata antara GAM dan TNI.
Kedua, soal peningkatan profesionalisme jurnalis. Bagi AJI, pers profesional merupakan prasyarat mutlak untuk membagun kultur pers yang sehat. Dengan adanya kualifikasi jurnalis semacam itulah pers di Indonesia bisa diharapkan untuk menjadi salah satu tiang penyangga demokrasi. Karena itulah, AJI melaksanakan sejumlah training, workshop, diskusi dan seminar.
Berkaitan soal peningkatan profesionalisme ini, AJI juga membangun Media Center di beberapa daerah. Misalnya, di Ambon dan Banda Aceh. Media Center di Ambon dibangun saat intensitas konflik meluas di daerah itu. Pendirian Media Center merupakan salah satu alat untuk mempromosikan penggunaan jurnalisme damai (peace journalism) kepada jurnalis saat meliput konflik yang menelan banyak korban jiwa tersebut.
Sedangkan media Center di Aceh dibangun setelah terjadi bencana tsunami. Niat awal dari adanya media center di daerah tersebut adalah untuk memberi rumah bernaung bagi jurnalis di Banda Aceh yang hampir sebagian besar menderita kerugian moril dan materiil akibat tsunami, 26 Desember 2004. Setelah masa darurat bencana lewat, media center ini melanjutkan fungsinya dengan mendorong jurnalis untuk terlibat aktif dalam melakukan fungsi kontrol sosial terhadap proses rehabilitasi dan rekonstruksi.
Salah satu program penting AJI yang berhubungan dengan etika adalah melakukan kampanye untuk menolak amplop atau pemberian dari nara sumber. Selama ini, salah satu cara yang dilakukan adalah dengan melakukan sosialiasi kepada pejabat publik, masyarakat dan tentu juga wartawan tentang akibat buruk dari praktik ini.
Ketiga, peningkatan kesejahteraan jurnalis. Tema tentang kesejahteraan ini memang tergolong isu yang sangat ramai di media. Bagi AJI, kesadaran akan pentingnya isu ini sudah dimulai sejak Kongres AJI tahun 1997. Dalam kongres tersebut, dicetuskan untuk memberikan porsi layak kepada isu yang berhubungan dengan aspek ekonomi jurnalis. Salah satu bentuknya adalah dengan mendorong pembentukan serikat pekerja di masing-masing media.
Tak mudah memang untuk mendorong isu ini. Sebab, masih ada kekhawatiran di benak pengusaha bahwa adanya serikat pekerja akan mendatangkan malapetaka, bencana atau kekacauan di perusahaan media. Pandangan ini juga menunjukkan adanya resistensi terselubung dari pemilik media soal serikat pekerja. Namun, usaha yang di rintis selama ini tak sia-sia. Beberapa media sudah memiliki serikat pekerja, meski dengan nama berbeda-beda.
AJI percaya, adanya serikat pekerja memberi dampak baik bagi perusahaan. Dengan adanya wakil karyawan, maka mereka bisa ikut memengaruhi kebijakan yang akan melibatkan mereka. Dampak lanjutannya, jurnalis pun bisa mendapatkan penghasilan yang layak sehingga kebutuhan ekonominya tercukupi. Kami percaya, soal kesejahteraan ini memiliki korelasi cukup kuat dengan terbentuknya karakter seorang jurnalis profesional.
 =>Pranala luar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar