Sejak berdiri hingga saat ini, AJI memiliki kepedulian pada tiga isu
utama. Inilah yang kemudian diwujudkan menjadi program kerja selama ini.
Pertama, perjuangan untuk mempertahankan kebebasan pers. Kedua,
meningkatkan profesionalisme jurnalis. Ketiga, meningkatkan
kesejahteraan jurnalis. Semua ini merujuk pada persoalan nyata yang
dihadapi jurnalis.
Pertama, perjuangan untuk mempertahankan kebebasan pers merupakan
pekerjaan rumah utama AJI. Tidak hanya semasa Orde Baru berkuasa, saat
represi terhadap media dan pemberangusan terhadap kebebasan pers sangat
tinggi. Setelah Soeharto tumbang berganti era reformasi, isu kebebasan
pers itu masih terus aktual. Sebab, represi yang dulunya berasal dari
negara, kini justru bertambah dari masyarakat, mulai pejabat dan
pengusaha yang merasa terancam oleh pers yang mulai bebas, hingga
kelompok-kelompok preman.
Ancaman bagi kebebasan pers itu ditandai oleh kian maraknya kasus
gugatan, baik pidana maupun perdata, terhadap pers setelah reformasi.
Ini diperkuat oleh statistik kasus kekerasan terhadap jurnalis yang
masih relatif tinggi, meski statistik jumlah kasus yang dimiliki AJI
cukup fluktuatif. Tahun 1998, kekerasan terhadap jurnalis tercatat
sebanyak 42 kasus. Setahun kemudian, 1999, menjadi 74 kasus dan 115 di
tahun 2000. Pada tahun 2001 sebanyak 95 kasus, 70 kasus (2002), 59 kasus
(2003), dan 27 kasus pada 2004.
Beberapa kasus menonjol dalam kasus kekerasan terhadap pers adalah
pembunuhan Fuad Muhammad Syafruddin, wartawan Harian Bernas Yogyakarta,
1996. AJI memberikan perhatian serius atas perkembangan tiap tahun kasus
ini. Untuk menghargai dedikasinya kepada profesi, AJI menggunakan nama
Udin Award sebagai penghargaan yang diberikan setiap tahun kepada
jurnalis yang menjadi korban saat menjalankan tugas jurnalistiknya.
Kasus yang tak kalah penting adalah penyanderaan dua wartawan RCTI,
Ersa Siregar dan Ferry Santoro oleh Gerakan Aceh Merdeka, di Aceh Timur,
2003. AJI menggalang dukungan internasional untuk membantu pembebasan
tersebut, serta membentuk tim pembebasan bersama sejumlah organisasi
lainnya. Ferry Santoro akhirnya selamat, namun Ersa tewas saat terjadi
kontak senjata antara GAM dan TNI.
Kedua, soal peningkatan profesionalisme jurnalis. Bagi AJI, pers
profesional merupakan prasyarat mutlak untuk membagun kultur pers yang
sehat. Dengan adanya kualifikasi jurnalis semacam itulah pers di
Indonesia bisa diharapkan untuk menjadi salah satu tiang penyangga
demokrasi. Karena itulah, AJI melaksanakan sejumlah training, workshop,
diskusi dan seminar.
Berkaitan soal peningkatan profesionalisme ini, AJI juga membangun
Media Center di beberapa daerah. Misalnya, di Ambon dan Banda Aceh.
Media Center di Ambon dibangun saat intensitas konflik meluas di daerah
itu. Pendirian Media Center merupakan salah satu alat untuk
mempromosikan penggunaan jurnalisme damai (peace journalism) kepada
jurnalis saat meliput konflik yang menelan banyak korban jiwa tersebut.
Sedangkan media Center di Aceh dibangun setelah terjadi bencana
tsunami. Niat awal dari adanya media center di daerah tersebut adalah
untuk memberi rumah bernaung bagi jurnalis di Banda Aceh yang hampir
sebagian besar menderita kerugian moril dan materiil akibat tsunami, 26
Desember 2004. Setelah masa darurat bencana lewat, media center ini
melanjutkan fungsinya dengan mendorong jurnalis untuk terlibat aktif
dalam melakukan fungsi kontrol sosial terhadap proses rehabilitasi dan
rekonstruksi.
Salah satu program penting AJI yang berhubungan dengan etika adalah
melakukan kampanye untuk menolak amplop atau pemberian dari nara sumber.
Selama ini, salah satu cara yang dilakukan adalah dengan melakukan
sosialiasi kepada pejabat publik, masyarakat dan tentu juga wartawan
tentang akibat buruk dari praktik ini.
Ketiga, peningkatan kesejahteraan jurnalis. Tema tentang
kesejahteraan ini memang tergolong isu yang sangat ramai di media. Bagi
AJI, kesadaran akan pentingnya isu ini sudah dimulai sejak Kongres AJI
tahun 1997. Dalam kongres tersebut, dicetuskan untuk memberikan porsi
layak kepada isu yang berhubungan dengan aspek ekonomi jurnalis. Salah
satu bentuknya adalah dengan mendorong pembentukan serikat pekerja di
masing-masing media.
Tak mudah memang untuk mendorong isu ini. Sebab, masih ada
kekhawatiran di benak pengusaha bahwa adanya serikat pekerja akan
mendatangkan malapetaka, bencana atau kekacauan di perusahaan media.
Pandangan ini juga menunjukkan adanya resistensi terselubung dari
pemilik media soal serikat pekerja. Namun, usaha yang di rintis selama
ini tak sia-sia. Beberapa media sudah memiliki serikat pekerja, meski
dengan nama berbeda-beda.
AJI percaya, adanya serikat pekerja memberi dampak baik bagi
perusahaan. Dengan adanya wakil karyawan, maka mereka bisa ikut
memengaruhi kebijakan yang akan melibatkan mereka. Dampak lanjutannya,
jurnalis pun bisa mendapatkan penghasilan yang layak sehingga kebutuhan
ekonominya tercukupi. Kami percaya, soal kesejahteraan ini memiliki
korelasi cukup kuat dengan terbentuknya karakter seorang jurnalis
profesional.
=>Pranala luar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar