Sejak AJI berdiri hingga sekarang, sebagian besar aktivis utamanya justru tidak berasal dari media yang dibreidel, namun justru dari media-media lainnya. Kecuali satu-dua orang, bisa dibilang tak ada satu pun wartawan eks-Editor yang pernah terlibat dalam aktivitas perlawanan AJI pada masa-masa awal berdirinya. Kalau melihat dari persentase, mungkin yang agak banyak terlibat dalam AJI adalah jurnalis eks Tabloid DeTik, disusul kemudian dengan para jurnalis Majalah Tempo.
Meskipun jumlah wartawan eks-Tempo lebih banyak, para jurnalis Tempo terbelah dua. Separuh di antaranya berseberangan dengan Goenawan Mohamad, dan memilih bergabung mendirikan Gatra, yang dimodali oleh Bob Hassan. Hal ini menimbulkan friksi di antara sesama eks-Tempo sendiri, sehingga sempat memunculkan wacana "boikot Gatra". AJI waktu itu memilih tidak mengeluarkan sikap resmi soal Gatra ini, karena dipandang lebih merupakan masalah internal Tempo.
Dari sekian jurnalis eks-Tempo yang tidak bergabung ke Gatra, juga tidak semuanya aktif di AJI. Sebagian mereka ikut mendirikan Tabloid Kontan, dan sejak itu tak banyak aktif di AJI, meski pada awalnya sebagian mereka ikut menandatangani Deklarasi Sirnagalih.
Di sisi lain, cukup banyak jurnalis-aktivis, yang menggerakkan roda organisasi AJI pada masa awal berdirinya, justru berasal dari grup media yang bukan korban pembreidelan. Mereka antara lain: Stanley Adi Prasetyo (Jakarta-Jakarta), Meirizal Zulkarnain (Bisnis Indonesia), Hasudungan Sirait (Bisnis Indonesia), Rin Hindryati (Bisnis Indonesia), Satrio Arismunandar (Kompas), Dhia Prekasha Yoedha (Kompas), Santoso (Forum Keadilan), Ayu Utami (Forum Keadilan), Andreas Harsono (The Jakarta Post), Ati Nurbaiti (The Jakarta Post), Roy Pakpahan (Suara Pembaruan), dan lain-lain.
Mengapa bernama AJI? Meski sejak awal sudah merancang ke arah pembentukan organisasi jurnalis alternatif, dalam diskusi 6 Agustus malam di Sirnagalih itu, tampak bahwa gagasan para peserta sangat beragam. Dalam diskusi pleno itu, mengemuka bahwa pembentukan forum komunikasi, paguyuban, atau bentuk apapun di luar organisasi profesi, tidak akan efektif dan tak akan dianggap penting oleh PWI atau pemerintah. Karena PWI yang dikooptasi penguasa adalah organisasi profesi jurnalis, maka imbangan yang pas terhadap PWI juga harus berbentuk organisasi profesi jurnalis, namun dengan sifat yang independen terhadap pemerintah.
Forum akhirnya sepakat membentuk organisasi profesi jurnalis. Persoalannya kemudian, apa nama organisasi baru ini? Menurut Salomo Simanungkalit (wartawan Kompas, yang juga penandatangan Deklarasi Sirnagalih), nama AJI itu sudah “ditimang-timang” dan disebut oleh Dhia Prekasha Yoedha, dalam perjalanan naik mobil dari Jakarta menuju Sirnagalih, sebelum pertemuan para jurnalis. Nama itu terkesan bagus, singkat, mudah disebut, mudah diingat, dan punya makna positif. Aji dalam mitologi Jawa berarti suatu ilmu atau kesaktian tertentu.
Sedangkan sebutan “Aliansi” seingat saya berasal dari usulan Stanley. Dasar pemikirannya, adalah untuk menghormati dan mengakui keberadaan komunitas-komunitas jurnalis, yang sudah lebih dulu ada di berbagai kota. Pada kenyataannya, memang merekalah yang mengirim delegasi ke pertemuan Sirnagalih ini.
Berbagai usulan tersebut dirangkum. Forum pun setuju menggunakan istilah “Aliansi” karena pertimbangan yang disampaikan Stanley di atas. Istilah “Jurnalis” pun disepakati digunakan, karena itulah istilah yang dianggap lebih sesuai dengan kata asalnya dalam bahasa Inggris (journalist), dan untuk membedakan dari PWI yang sudah menggunakan “wartawan.” Terakhir, istilah “Independen” digunakan untuk menggarisbawahi perbedaan AJI dengan PWI. AJI itu independen, dan juga tidak mau mengklaim mewakili “Indonesia.” Sedangkan, PWI tidak independen, tapi mengklaim mewakili Indonesia.
Sesudah nama AJI disepakati, peserta diskusi dibagi dalam sejumlah komisi, seperti Komisi Deklarasi, Komisi Program, dan lain-lain. Satrio Arismunandar dipercayai memimpin Komisi Deklarasi, dengan sekretaris Jopie Hidajat (Tempo) yang kini bekerja di Tabloid Kontan. Sesudah serangkaian diskusi panjang, Komisi ini berhasil merumuskan Deklarasi Sirnagalih, yang esok paginya, tanggal 7 Agustus, dibacakan dan dibahas lagi di Sidang Pleno. Deklarasi itu disepakati dengan suara bulat dan hanya dengan sedikit sekali perubahan redaksional.
Jika diamati, dalam deklarasi itu tercantum “Pancasila dan UUD ‘45.” Selain karena pertimbangan ideologis, pencantuman “Pancasila” di Deklarasi Sirnagalih merupakan langkah taktis, untuk meniadakan peluang bagi aparat rezim Soeharto untuk menghantam gerakan dan organisasi AJI yang baru lahir ini. Waktu itu, iklim represi sangat keras, dan ada kewajiban mencantumkan “Pancasila” sebagai satu-satunya asas bagi organisasi kemasyarakatan.
AJI adalah organisasi jurnalis alternatif. Kata “alternatif” perlu ditekankan, untuk membedakan dari sebutan “tandingan.” Istilah “tandingan” bermakna reaktif. Jika AJI sekadar tandingan dari PWI, maka eksistensi keberadaan AJI akan tergantung pada PWI. Jika PWI bubar, AJI juga harus bubar, karena kelahirannya hanyalah sebagai tandingan atau reaksi dari keberadaan PWI. Itulah sebabnya, sejak awal AJI tak pernah menyebut diri sebagai “tandingan PWI.”
Sedangkan, sebutan “alternatif” pada semangatnya adalah menerima pluralitas dan perbedaan, tidak memonopoli. “Alternatif” bagi AJI artinya bisa menerima adanya organisasi-organisasi lain. Sejak berdirinya AJI, kita tak pernah menuntut pembubaran PWI atau organisasi jurnalis lainnya. AJI tidak ingin melakukan kesalahan yang sama dengan PWI: memonopoli kebenaran dan legalitas dari pemerintah untuk dirinya sendiri, dengan menafikan organisasi jurnalis lain. Dengan terus menggunakan gedung dan aset dari pemerintah untuk kantor-kantornya sendiri, sampai saat ini secara esensial sebetulnya tak ada yang berubah dari PWI.
Pada 7 Agustus siang, mulailah acara penandatangan Deklarasi. Tidak semua peserta yang hadir bersedia menandatangani, dengan pertimbangan yang beragam. Herdi SRS, M. Fadjroel Rachman, Ging Ginanjar, memilih tidak menandatangani. Bambang Harymurti (BHM) namanya dicantumkan di Deklarasi, namun nyatanya ia sudah keburu pergi untuk suatu urusan, sehingga juga tidak tanda tangan. Rekan dari Kompas, Salomo Simanungkalit dan Bambang Wisudo sudah lebih dulu pulang karena tugas kantor, namun mereka menyatakan komitmennya untuk tanda tangan, dan minta namanya tetap dicantumkan di Deklarasi.
Pada kenyataannya, para jurnalis senior “ditodong” untuk ikut memberi tanda tangan dalam Deklarasi, yang isinya dirancang sepenuhnya oleh para jurnalis muda. Bagaimanapun juga, nama para jurnalis senior ini dibutuhkan untuk memberi gaung yang lebih besar pada Deklarasi Sirnagalih, yang menjadi dasar berdirinya AJI. Pada waktu itu, istilah “jurnalis” juga diartikan secara luas dan mencakup juga para kolumnis, sehingga Arief Budiman, Christianto Wibisono, dan Jus Soema di Pradja yang sudah lama tidak aktif sebagai jurnalis, ikut tanda tangan.
Berdirinya AJI memberi gaung cukup besar di dunia jurnalistik Indonesia. Tekanan terhadap para jurnalis yang terang-terangan bergabung dalam AJI sangat besar. Pemerintah melalui Departemen Penerangan dan PWI melihat berdirinya AJI sebagai tantangan terbuka, yang harus ditindak keras agar tidak meluas. Berbagai tindakan “pendisiplinan” melalui pemimpin di media masing-masing pun dilakukan.
Ada anggota AJI yang dipindahkan ke bagian Litbang (seperti dialami Hasudungan Sirait di Bisnis Indonesia), dimutasi ke luar Jakarta, ditekan supaya mundur dari AJI atau minta maaf, dan sebagainya. Intinya, karier jurnalistik bagi seorang anggota AJI praktis sudah ditutup, karena saat itu untuk menjadi seorang Pemimpin Redaksi harus memperoleh rekomendasi PWI. Hal ini bisa menjelaskan, mengapa Bambang Harymurti sampai saat ini tidak ikut tanda tangan di Deklarasi Sirnagalih, meskipun namanya tercantum di sana. Mungkin ada pertimbangan praktis atau pragmatis, karena Bambang harus menakhodai sisa-sisa awak Tempo untuk mendirikan majalah atau media baru.
Dalam hal ini, PWI telah bertindak terlalu jauh. Pimpinan PWI dalam forum terbuka yang dikutip media pernah mengatakan, media massa tidak boleh mempekerjakan anggota AJI. Ini merupakan pelanggaran HAM. Upaya mencari nafkah untuk hidup adalah hak asasi yang tak bisa ditawar-tawar. Bahwa Pemerintah tidak mengakui AJI dan hanya mau mengakui PWI, itu adalah urusan lain. Namun hak mencari nafkah seharusnya tak boleh diganggu gugat.
Karena aktivitas di AJI, belasan jurnalis yang sudah sempat jadi anggota PWI, dipecat dari keanggotaan PWI. Mereka antara lain: Fikri Jufri, Eros Djarot, Hasudungan Sirait, Diah Purnomowati, Stanley Adi Prasetyo, dan lain-lain. Secara praktis, pemecatan ini tak berarti banyak, toh mereka sudah tidak merasa dibela oleh PWI.
Satrio dan Yoedha juga akhirnya ditekan untuk mundur dari Kompas. Alasan pemimpin Kompas adalah, aktivitas mereka dianggap membahayakan kelangsungan hidup grup penerbitan Kompas. Waktu itu, keduanya selain aktif di AJI, juga aktif di SBSI (Serikat Buruh Sejahtera Indonesia) yang diketuai Muchtar Pakpahan. AJI dan SBSI adalah organisasi yang dianggap berseberangan dengan pemerintah. Seperti halnya kasus PWI dan AJI di dunia jurnalistik, di bidang perburuhan, Pemerintah tak mengakui SBSI dan hanya mau mengakui SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia) sebagai satu-satunya organisasi yang mewakili aspirasi pekerja Indonesia.
Pimpinan Kompas beranggapan, keduanya dibiarkan terus aktif di AJI dan SBSI seperti sediakala tanpa ditindak, akan memberi kesan pada penguasa (Departemen Penerangan yang mengeluarkan SIUPP pada Kompas) bahwa Kompas “merestui” atau bahkan “mendukung aktivitas ilegal” yang dilakukan dua karyawannya. Implikasinya, Kompas bisa dibreidel sewaktu-waktu, seperti sudah pernah terjadi di waktu lampau. Oleh karena itu, daripada membahayakan kelangsungan hidup perusahaan Kompas dengan sekitar 3.000 karyawannya, lebih baik meminta dua wartawannya mundur.
=> Setelah Soeharto Jatuh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar