Selasa, 19 Februari 2013

Transformasi Seno Gumira



Oleh: Maria Hartiningsih
Begitu lama ia merasa berada dalam keterbatasan yang membuatnya berpikir bahwa pemahaman ”yang benar” itu ada.
 Keterbatasan semacam itu membuat Seno Gumira Adji Darma (47) menabrak-nabrak dan menghayati pengalaman orang buta yang merayap dalam kegelapan. 
Padahal, ketika matanya terbuka, ternyata dunia memang gelap. Jalan ilmu pengetahuan terstruktur membukakan kesadaran bahwa realitas ”yang benar” adalah konvensi, kesepakatan; bahwa yang bernama ”realitas” sebenarnya merupakan konstruksi sosial-historis. ”Segala sesuatu diciptakan karena ada kebutuhan. Teori juga begitu. 
Mereka lahir dari yang sudah ada. Postmodernisme lahir karena modernisme, dekonstruksi karena konstruksi, poststrukturalisme karena strukturalisme,” ujarnya. 
Seno tenggelam di dalam samudra ketakterbatasan ilmu pengetahuan ketika meneliti komik Panji Tengkorak untuk disertasi S-3-nya di Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Ia tak lagi terpaku hanya pada filsafat komik, sesuatu yang hinggap di benaknya setelah menyelesaikan S-2-nya di jurusan filsafat UI. Ia menyelesaikan S-3-nya dalam delapan semester diselingi proses kreatifnya melahirkan tiga novel—salah satu novelnya, Negeri Senja, mendapat Khatulistiwa Literary Award 2004—dua naskah drama, skenario, dan puluhan cerita pendek, kolom, esai yang dimuat di berbagai media. Ia masih bisa melakukan kegiatan yang ia gemari: memotret, bahkan sempat pameran karena ada teman yang memintanya. Oleh sebab itu, ia tak mempersoalkan predikat kelulusan ”sangat memuaskan”, karena melewati standar waktu, meski nilainya cumlaude. ”Lagi pula aku sudah menerima diriku sebagai mediocre saja. Dari kecil aku tak pernah terobsesi jadi nomor satu.” Waktu SD, anak pertama dari dua bersaudara yang lahir di Boston, Amerika Serikat, itu selalu duduk di baris tengah agak depan. ”Yang pintar duduk di belakang, yang kurang bisa menangkap pelajaran duduk di depan,” kenangnya. Itu membuatnya tidak pernah merasa hebat. Sebaliknya, selalu merasa kurang. ”Konsekuensinya mahal, karena aku harus belajar keras.” Tuntas pada usia 20 Seno mulai menulis di SMA, tahun 1974. ”Aku mewajibkan diriku menulis karena aku suka membaca,” lanjutnya. Ia hidup dari menulis, meski tak bercita-cita menjadi penulis. ”Aku hanya terobsesi menguasai tulisan,” katanya. 
Dulu ia ingin jadi seniman ”biasa” yang bisa merasa bahagia dengan apa adanya. Ia merasa sudah mencapainya pada usia 17 tahun ketika mengikuti rombongan Teater Alam. Pada usia 19 tahun ia sudah bekerja di koran sehingga berani menikahi Ike. Pada usia 20 tahun, Timur Angin—fotografer, lulusan Institut Kesenian Jakarta, tempat ayahnya menyelesaikan S-1-nya di bidang film—lahir. ”Upacara dalam hidup sudah kutuntaskan pada usia 20 tahun. Aku tak punya target lagi setelah itu,” tambahnya. ”Semua kujalani dengan ringan.” Ia terus membaca, menulis, melanjutkan kerja jurnalistiknya. ”Jadi tukang,” katanya. Tukang? ”Ya,” sergahnya.
 ”Bukan robot. Untuk jadi tukang keterampilan saja tak cukup. Ada pergulatan intens. Tukang kayu harus kenal kayu secara personal. Petani harus kenal cuaca, tanah, air, benih, secara personal.” Keangkuhan para intelektuallah yang membuat derajat tukang direndahkan. 
Padahal, menurut Seno, di dalam ”pertukangan”, ada perfection. Di dalam kesempurnaan ada penghayatan, ada pengetahuan yang mendukungnya. Juga dalam menulis. 
Untuk tulisan ilmiah, misalnya, harus masuk ke proses seorang ilmuwan di mana subjektivitas sangat berperan. Itulah faktor personal. ”Aku meneliti Panji Tengkorak juga karena faktor itu. Panji Tengkorak lahir tahun 1968, aku lahir tahun 1958,” katanya. Tradisi keilmuwan ada di dalam keluarganya. Ayahnya, Mohammad Seti-Adji Sastroamidjojo (alm), adalah PhD di bidang fisika, dikenal sebagai ahli energi alternatif dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Ibunya, Poestika Kusuma Sujana (alm), adalah dokter spesialis penyakit dalam. 
Jadi mungkin jeda sebelum ia memutuskan kembali ke bangku kuliah hanyalah ancang-ancang melanjutkan perjalanannya menuju horizon tak berbatas, seperti dalam impian masa kecilnya ketika membaca Karl May. ”Foucault menghasilkan karya-karya luar biasa setelah menulis disertasinya yang menjadi buku Madness of Civilization,” ujarnya, seperti meminta lawan bicaranya paham maksudnya. Seno menerabas tantangan demi tantangan. Dan bertransformasi. Ia belajar mengepakkan sayap dari kegetiran dan keangkuhan kekuasaan. Sekarang ia sudah terbang. Jauh…. 
Sumber: Kompas, 19 Agustus 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar